Pengusaha Wanita yang sukses memanfaatkan Peluang Bisnis Rumahan Kain Lurik (HOUSE OF LAWE)
Kisah Sukses Bisnis Rumahan Kain Lurik (HOUSE OF LAWE)
Pilihan bisnis Adinindyah (37) memilih bisnis kain lurik yaitu kain tradisional khas Yogyakarta, yang dulu hanya diminati oleh para petani, buruh gendong, dan abdi dalem saja. Adinindyah adalah mahasiswi lulusan Teknik Arsitektur UGM. Bersama dengan keempat temannya, Adinindyah mendirikan House of Lawe, yaitu tempat bahan lurik untuk disulapnya menjadi berbagai produk fashion seperti tas, stationary, perlengkapan interior,sampai parsel.
Saat ini, usaha yang telah dia dirikan pada tahun 2004 itu berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Usaha yang awalnya bermodalkan patungan Rp 5,3 juta tersebut berhasil mecapai omzet Rp 420 juta dalam setahun. Nindyah juga mengusung tema semangat memelihara dan mempopulerkan kain tenun tradisional dari berbagai daerah dan mendukung pemberdayaan wanita.
pada awalnya, Nindyah terpaksa pindah ke kota Yogyakarta mengikuti suaminya bertugas. Dari sinilah Nindyah melirik kain lurik, yang banyak dipasarkan di daerah Yogyakarta dan Solo. Ia kemudian mencoba mengolah kain tenun tersebut menjadi produk-produk yang lebih menarik dan memiliki nilai jual. Akan tetapi, ternyata tidak mudah mendapatkan kain lurik yang dulunya pernah melegenda itu. Namun, ia tidak patah semangat. Bersama dengan rekannya Ani, ia berburu kain lurik ke berbagai pelosok desa di sekitar Jogya untuk mencari pengrajin tenun lurik yang masih tetap bertahan. Salah satu perajin tenun yang berhasil mereka temukan adalah di Nanggulan, Kulonprogo. Dengan uang hasil patungan mereka berdua, mereka memborong kain lurik yang ada.
Kain-kain lurik tersebut langsung ia rubah menjadi agenda serta boks-boks yang variatif, hasil inspirasinya dari majalah atau internet. Ia juga membuat kreasi produk lain, yaitu mulai dari tas, sarung bantal, serta kantong HP. Setelah mendapat inspirasi, ia membuat sketsa desain yang diinginkan,kemudian Sketsa desain itulah yang kemudian dia konsultasikan serta diskusikan dengan penjahit tetangga rumahnya untuk diwujudkan dalam bentuk sebuah produk.
Stok produk pertamanya yang ia produksi berupa selendang, tas, stationery, serta sarung bantal berjumlah 50 buah, langsung diborong salah seorang rekannya. Hal tersebut semakin menambah kepercayaan Nindyah untuk terus berproduksi. Meski dalam skala yang kecil, dia mulai banyak menerima pesanan. Biasanya, untuk kebutuhan souvenir pernikahan atau perlengkapan seminar. Promosi usahanya baru dilakukan dari mulut ke mulut.
Pada tahun 2007, setelah ia memiliki cukup banyak stok barang dengan variasi model yang beragam, Nindyah memberanikan diri mengikuti pameran Inacraft di Jakarta. Sejak tahun 2005 produk Lawe seperti ini sudah ada di Inacraft. Ia menitipkannya kepada seorang rekan yang mengikuti pameran tersebut. Tetapi, hasilnya kurang menyenangkan. Dari ratusan barang yang saya titipkan, hanya laku kurang dari 20 persen saja.
Ia tidak menyerah, tetap rajin mengikuti pameran. Tidak disangka, keikutsertaannya pada pameran Inacraft tahun 2007 berhasil menuai sukses. Barang dagangannya nyaris habis terjual. Ia juga banyak menerima pesanan. Kunci kesuksesan Lawe produksinya adalah keberanian Nindyah dalam berinovasi untuk membuat motif-motif lurik dengan cara permainan warna yang lebih playful serta berani. Sedangkan, lurik umumnya identik dengan warna-warna yang gelap serta cenderung kusam. Warna-warna terang lebih disukai anak-anak muda yang menjadi konsumen potensial Lawe. Warna cerah juga dapat membuat lurik terlihat modern. Maka dari itu, perlu mengikuti tren warna yang sedang trend.
Sejak keikutsertaannya di ajang Inacraft 2007 itu, Nindyah kemudian membuka showroom Lawe yang pertama yaitu di Amri Museum and Art Gallery, Yogyakarta. Ia mulai membangun website usaha (www.houseoflawe.com). Website berperan sangat besar dalam mempopulerkan produk-produknya ke seluruh pelosok Indonesia.
Untuk menjamin kesejahteraan para peawainya yang tergabung di workshop Lawe, Nindyah kemudian membangun usahanya dalam bentuk koperasi, ia bertindak sebagai ketua dari koperasi tersebut. Nindyah tidak sepenuhnya menjadi pemilik tunggal usaha House of Lawe karena semua pekerja tersebut juga memiliki kontribusi saham di dalamnya. Jadi, keuntungan yang diperoleh pada akhirnya dibagi secara adil kepada seluruh pemilik saham. Sistem ini, menurut Nindyah lebih efektif untuk menumbuhkan rasa memiliki usaha dari para pekerja sehingga bermanfaat untuk keberlangsungan roda bisnis Lawe.
0 comments:
Post a Comment