Tuesday, September 4, 2012

Pergeseran Selera Pecinta Mode Indonesia, Dari Payet ke Tenun

Busana Tenun
Jakarta - Berbicara soal fashion ,selera orang Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang tentunya semakin mewarnai industri mode. Setiap selera pribadi yang dimiliki tiap individu akan mandatangkan berbagai produk fashion yang sesuai dengan preferensi masing-masing, baik dari retail maupun rancangan desainer yang personal.

Kelangsungan karir seorang desainer pun tak terelakkan bergantung pada animo pasar yang menyukai karyanya. Berbeda dengan industri mode di luar negeri yang memiliki divisi yang dikotak-kotakkan, desainer luar negeri tidak perlu khawatir memikirkan penjualan karena sudah ditangani oleh divisi penjualan. Ia cukup konsentrasi pada konsep.

Di Indonesia, yang kebanyakan desainer perlu perjuangan ekstra keras karena hampir mengerjakan seluruhnya (one-man-show), mau tidak mau harus mengerti benar gaya rancangannya sendiri dan pasar seperti apa yang ia targetkan untuk memperoleh penghasilan.

Beberapa tahun ke belakang, industri mode Indonesia konsisten didominasi dengan selera pasar yang menyukai busana berpayet heboh dan diaplikasikan secara berat dan menyeluruh. Istilah bling-bling pun menempel pada mereka yang mengenakannya. Jika dalam budaya Barat bling berkonotasi pada gaya musisi rap dan hip hop yang memakai perhiasan heboh, di Indonesia bling berarti busana payet penuh yang dikenakan dengan segala perhiasan berkilau.

Mau tidak mau, meskipun tidak semuanya, namun banyak desainer yang mengadaptasi karyanya dengan payet heboh demi mengakomodir keinginan klien yang ingin tampil mewah. Dari desainer kebaya, gaun malam hingga desainer etnik, semuanya ramai-ramai menempelkan payet untuk memenuhi tendensi pasar.

Dari sinilah tercipta sebuah citra bahwa busana Indonesia hanya terbatas pada gaun berpayet heboh yang terkesan 'lebay'. Tidak berpayet maka tidak laku terjual. Siluet gaun tradisional mulai ditinggalkan dan ragam warisan kain adat pun terpaksa diam di lemari baju untuk sekian lama.

Berkat kerja keras Cita Tenun Indonesia (CTI), tenun dan kain tradisional lainnya terus digalakkan. Alhasil, pergeseran mode Indonesia mulai terjadi dan perlahan membuka mata para pelaku hingga pecinta mode Indonesia untuk memakai tenun. Hal ini diungkapkan oleh desainer Priyo Oktaviano.

Salah satu misi yang diemban seorang desainer adalah memajukan seni dan budayanya lewat karya busana. Sebagai desainer Indonesia, mengangkat kain tradisional seperti tenun pun menjadi sebuah kehormatan tersendiri. Priyo melakukannya dengan mengemas tenun menjadi lebih atraktif dan berdaya pakai tinggi ditunjang kreativitas.

"Ikat yang dibuat menjadi gaun cocktail atau cheongsam, kebaya yang bawahannya terbuat dari tenun. Semua diterima klien karena mereka sekarang lebih open-minded dan ga terlalu complicated. Dulu selalu minta payet, sekarang lebih banyak minta tenun," ujar Priyo. Terlepas dari harga tenun yang mahal karena proses pengerjaan yang rumit, klien juga tertarik akan ikat yang dibuat dengan ATBM yang harganya lebih terjangkau.

"Sekarang marketnya enggak berpayet lagi, klien lebih mengerti fashion dan mulai meninggalkan aplikasi yang berat-berat. Bahkan ada beberapa klien yang datang ke saya sudah mengerti bagaimana sifat kain tenun yang ia ingin buat jadi gaun," tambah Priyo yang ditemui Wolipop di studionya di Lamandau, Jakarta, Jumat (31/09/2012).







Dikutip oleh : www.rumahjahit.com
Sumber : redaksi[at]wolipop.com


0 comments:

Post a Comment